Selasa, 06 September 2016

Cerpen: Setengah Bagian Hidup Rania


Sejak masa ospek yang berlangsung selama tiga hari itu, hubungan Rania dengan Oki bertambah akrab. Meskipun jurusan yang mereka ambil berbeda, tapi tidak membuat keduanya saling menjauh. Melainkan jadi makin dekat. Rania gadis berambut panjang dan bergelombang ini diterima di jurusan Komunikasi. Sementara Oki, pria yang baru dikenalnya selama ospek, memilih jurusan Ekonomi.

Walaupun berbeda fakultas, Oki selalu
menyempatkan waktu untuk menemuinya disela-sela kuliah. Terang saja kehadiran Oki di dalam hidupnya membuat Rania merasa senang. Sebab ditengah kesibukannya mengerjakan tugas-tugas kuliah yang memusingkan, pria itu bisa mengubah suasana hatinya yang buruk jadi menyenangkan.

Dengan berbagai celotehan dan candaanya.

“Mukamu kenapa kumel begitu?” tanya Oki yang muncul tiba-tiba dari arah belakang, lalu duduk di sebelahnya.
“Ini pusing mikirin tugas paperku nggak kelar-kelar,” sahutnya pasang muka cemberut.
“Ngapain pusing-pusing
segala?”
“Gimana nggak pusing? Nanti sore udah harus kelar, tapi ini bahannya masih kurang. Pusing tau mikirin nih tugas!”
“Lagian tugas kok dipikirin?!”
“Nah, kalau nggak dipikirin gimana mau selesai?”
“Ya kalau mau selesai, kerjain! Bukannya dipikirin!” tegas Oki. “Kalau mau mikir, mending mikirin aku! Hahaha…” celotehnya sambil cekikikan.
“Hahaha… kamu tuh bisa aja. Dari pada mikirin kamu, ya mending mikirin tugasku!” sahut Rania meledek.
“Loh, kamu salah! Justru lebih penting mikirin aku dari pada tuh tumpukan kertas!” tunjuk Oki ke tumpukan paper milik Rania. Sembari melebarkan senyum di bibirnya dan mengedipkan mata secara berulang.
“Wkwkkwk… mikirin kamu nggak akan ada habisnya. Yang ada cuma bikin ngakak melulu…! Hahaha…” balasnya tertawa terbahak-bahak, melihat ekspresi Oki yang sok kegantengan.
“Loh, kok malah ngakak? Hati-hati nanti malah jadi kebayang-bayang lo…”
“Hahaha… kePDan!”
Rania selalu dapat dibuat tertawa oleh Oki. Celotehan-celotehan pria bertubuh tegap dan berwajah kotak itu menjadikannya terlepas dari kebingungan dan kepenatan akan tugas kuliahnya.

Sudah hampir dua semester hubungan pertemanan mereka berjalan. Keduanya nampak selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi. Dimana ada Rania, disitu pasti ada Oki. Bahkan teman-temannya mengira, kalau mereka berpacaran. Tapi hal tersebut ditampik oleh Rania. Baginya hubungan mereka tidak lebih dari sekedar berteman.
Beberapa teman juga sempat menggodanya, dan mengatakan bahwa dalam hubungan antara seorang pria dan wanita, pasti akan tumbuh cinta. Tidak mungkin hanya sekedar teman. “Kamu harus tau Ran, impossible just for friend!” tegas Lina teman kuliahnya.
“Sudahlah Lin, itu cuma dugaanmu saja,” balas Rania.
“Mungkin sekarang hanya dugaanku, tapi kita lihat saja nanti.”
Ucapan Lina terus membayangi pikiran Rania. Gadis berambut panjang berwarna kehitaman ini pun terus memikirkan perkataan teman satu kelasnya. “Apa maksud perkataan Lina? Dia pasti cuma menduga-duga saja. Lagian selama ini hubunganku dengan Oki memang cuma sekedar teman,” pikirnya sembari merebahkan tubuh di atas kasur.

Kala sedang berjalan melewati koridor, dari kejauhan Rania melihat sosok lelaki yang sangat dikenalnya tengah berbincang dengan seorang kawan. Ia berjalan mengendap-endap dari arah belakang, berniat untuk mengagetkan cowok itu yang tak lain adalah Oki. Namun sontak Rania menghentikan langkahnya, saat mendengar namanya disebut.
“Rania?” celetuknya. Gadis itu pun berbalik, dan langsung bersembunyi dari balik tembok, tidak jauh dari tempat Oki dan temannya. Sehingga percakapan mereka masih dapat terdengar olehnya.
“Iya Rania, kamu dekat sama dia kan udah lama. Apa kamu mau terus berteman, tanpa pacaran?” tanya salah seorang kawan, yang berdiri di sebelah Oki.
“Nggak tau lah!” sahut Oki menggerdikkan bahunya.
“Kok nggak tau? Emang kamu nggak ada perasaan sama dia?”
“Hemmm… gimana ya? aku juga bingung. Kalau dibilang suka, ya memang aku suka sama dia. Tapi mau gimana, dia sepertinya sudah nyaman dengan pertemanan kita.”
“Deg… deg… deg…” suara debaran jantung Rania, terasa jelas. “Apa ini yang aku dengar barusan?” gumamnya kaget, tidak percaya mendengar ucapan Oki. Perasaannya menjadi tidak karuan. Otaknya dipenuhi dengan kebingungan, mengapa lelaki itu mengatakan hal demikian. Membuatnya merasa cemas dan panik.
“Terus, apa kamu bakalan diam saja? tanpa mengatakan perasaanmu yang sebenarnya?” tanya temannya lagi.
“Iya kalau memang harus begitu. Kenapa nggak?!” balas Oki.
“Bodoh banget kamu! Kalau aku jadi kamu, sudah pasti langsung ngomong ke dia!” tandas temannya.
“Kok kamu malah ngatain aku bodoh sih!” balas Oki kesal.
“Loh memang benar begitu kan? Sekarang coba kamu pikir, kalau terus diam tanpa ngungkapin perasaanmu ke dia, apakah dia bakalan tau perasaan kamu? Nggak kan?!” sentak cowok itu melotot.
“Iya bener juga. Tapi aku belum berani bilang ke dia. Gimana kalau nanti dia malah marah ke aku?” pikir Oki.
“Belum dicoba udah takut duluan! Gini deh, kamu pikirin lagi omonganku. Jangan jadi orang bodoh, yang hanya diam memendam perasaanmu. Kamu harus katakan sama dia. Sebelum nantinya kamu menyesal, jika dia pacaran sama cowok lain.”
“Tap… tap… tap…” Rania ke luar dari persembunyiannya. Sontak lelaki yang berdiri di sebelah Oki melihatnya. “Rania?” ucapnya kemudian. Oki pun lekas membalikkan tubuhnya, kaget bukan kepalang. Saat mendapati gadis yang ia taksir berdiri tepat di belakangnya.
Mata mereka saling bertatapan. Akan tetapi keduanya saling terdiam. Pikiran Rania masih dipenuhi dengan ketidakpercayaan atas apa yang telah didengarnya. Gadis itu maju satu langkah mendekati Oki, ingin rasanya menanyakan kebenarannya langsung pada pria yang sudah lama dikenalnya itu. Namun langkahnya terhenti, seakan bibirnya terbungkam tak bisa berucap apapun.
“Rania…” panggil Oki. Seketika, “Drap… drap… drap…” Rania berlari melewati Oki. Larinya semakin kencang menyusuri setiap koridor. Sampai akhirnya tubuhnya terjatuh di salah satu bangku di taman kampus.

“Apa ini? Kenapa Oki bilang begitu? Lalu perasaan apa ini? Kenapa jantungku berdebar-debar, waktu dengar Oki bilang menyukaiku? Aneh!” beragam pertanyaan muncul dalam benaknya. “Aku tidak percaya. Bukankah selama ini kita cuma berteman saja? Lalu kenapa dia harus bilang menyukaiku ke temannya?” gumamnya lagi.
“Tap… tap… tap…” suara langkah kaki berjalan mendekatinya. “Ran…” panggil seseorang, gadis itu pun menoleh mencari tau keberadaan suara berasal.
“Oki?!” sentaknya.
“Aku duduk disini ya?” tunjuk Oki kearah tempat kosong di sebelahnya. Ia pun membalas dengan anggukan kepala. “Srett…” Oki lekas duduk di sebelahnya. “Kamu kenapa, tumben ketemu langsung lari begitu saja? Apa ada masalah?” tanya cowok berambut lurus itu menatap dirinya..
“Ki, aku sudah dengar pembicaraanmu dengan Dion.”
“Maksud kamu?” sentak Oki memandang Rania tajam.
“Iya aku dengar, kalau kamu…” Rania menghentikan ucapannya dan menghela napas. “Aku tidak percaya dengan apa yang kamu katakan sama dia!” lanjutnya.
“Kamu kenapa marah begitu? Emang apa yang kamu dengar?”
“Huft… sudahlah tidak usah berpura-pura lagi! Aku sudah dengar semuanya. Aku pikir, selama ini kamu tulus berteman sama aku. Ternyata…” Rania tidak melanjutkan ucapannya, langsung berdiri dan siap melangkah pergi.
“Apa aku salah, kalau ternyata aku menyukaimu?!” seru Oki menghentikan langkahnya. Rania hanya terdiam berdiri membelakangi Oki. “Aku juga tidak tau, sejak kapan perasaan itu muncul. Tapi selama bersamamu, perasaan itu tumbuh begitu saja. Aku tau, mungkin kamu tidak senang! Makanya aku tidak pernah mengatakannya padamu. Tapi hari ini, kamu malah mengetahuinya sendiri. Lalu apa salahku?!” jelas cowok itu sedikit kesal.
“Aku tidak mau dengar lagi!” seru Rania berlari meninggalkan Oki. Perasaannya menjadi tidak karuan. Rasa kecewa menyelimuti hatinya. Menurutnya tidak seharusnya perasaan itu ada di antara mereka. Dia tidak ingin kehilangan Oki sebagai temannya. Tapi dengan adanya kejadian tersebut, seolah semua keseruan ketika bersama Oki hancur.

Sudah beberapa hari mereka tidak saling bicara, semenjak kejadian pertengkaran terjadi. Rania selalu menghindar setiap kali berpapasan dengan Oki. Meskipun begitu, Oki masih terus mengejarnya. Tapi seminggu berlalu, gadis berambut panjang ini tak lagi mendapati sosok pria yang selalu berdiri di depan ruang kuliahnya.
Kecemasan mulai mengisi hatinya. Hari-hari ia lalui sendiri bersama teman-teman sekelasnya. Tidak ada lagi sosok Oki yang kerap menemaninya dan membuatnya tertawa. Tanpa terasa, dua minggu pun berlalu begitu cepat. Ia selalu sendirian dan merasa sepi. Meski Lina teman satu kelasnya menghiburnya, namun tidak bisa melengkapi ruang kosong di hatinya. Dimana sebelumnya ruang itu terisi oleh Oki. Pria yang dikenalnya ketika ospek, dan berhasil menghiasi kehidupannya dengan canda tawa.

“Ran, lihat siapa itu?!” tunjuk Lina kearah dua orang mahasiswa yang berjalan melewati deretan fakultas Ekonomi. Rania pun segera menoleh ke arah yang dimaksud temannya. “Bukankah itu Oki? tapi siapa cewek yang ada di sebelahnya? Kayaknya akrab banget. Lihat aja tuh, mereka ketawa cekikikan begitu,” imbuh Lina.
“Aku nggak tau,” sahut Rania menggeleng.
“Ran, apa kamu mau seperti ini terus? Bukankah dulu kalian dekat banget, kemana-mana selalu berdua. Tapi sekarang tidak lagi,” tukas Lina khawatir.
“Sudahlah Lin, kamu tau sendiri kan? Gimana kejadiannya?”
“Iya aku tau, tapi apa salahnya? Kalau ternyata di antara pertemanan kalian tumbuh cinta?!” balas Lina sedikit geram.
“Lin!” teriak Rania balik membentak.
“Ran, dengarkan aku,” Lina menyentuh bahu Rania. “Bukankah dulu aku pernah bilang sama kamu. Di antara pertemanan seorang aki-laki dan perempuan, pasti bisa tumbuh cinta. Tidak mungkin hanya sekedar teman. Dalam kasusmu dengan Oki, menurutku dia tidak salah. Kalau pada akhirnya suka sama kamu. Begitu pula kamu, tidak ada salahnya menerima cintanya,” jelasnya.
“Tapi aku takut Lin!”
“Apa yang kamu takutkan?”
Rania merasa bingung dengan perasaannya. Di sisi lain ia ingin kembali seperti dulu bersma Oki. Tapi di sisi lain, dia takut kalau dengan pacaran akan merusak kedekatan mereka. Pikirannya penuh dengan ketakutan akan permusuhan, kalau saja hubungan pacaran mereka nantinya tidak berhasil. Kemudian selalu bertengkar, hingga berujung pada kata putus.
“Ran…! Kok malah bengong sih? Apa yang kamu takutin?” gertak Lina.
“Aku takut kalau nantinya kita jadian, terus putus. Ujung-ujungnya jadi musuh.”
“Kamu gimana sih malah mikir kesitu sih! Yang namanya orang pacaran, pasti nggak mau putus. Karena keduanya takut buat kehilangan!” tandas gadis berambut pendek ini. “Aku tanya deh sama kamu. Apa kamu suka sama Oki?”
“Nggak tau.”
“Tanyakan pada hatimu. Seberapa penting Oki bagimu. Terus apa yang kamu rasakan ketika tidak ada dia di sampingmu.”
“Oki itu sudah menjadi setengah bagian dalam hidupku Lin. Meskipun aku menghindar darinya, tapi sebetulnya aku selalu merasa takut. Aku takut jauh darinya. Aku juga takut kehilangan dia.”
“Itu tandanya kamu memiliki perasaan yang sama ke dia! Jadi tunggu apa lagi?!”
“Maksud kamu?”
“Kamu sebetulnya juga suka sama dia, dan selalu ingin berada di sampingnya. Cinta itu telah tumbuh di hatimu. Dimana kamu merasa takut akan kehilangan dia.”
“Tapi Lin…”
“Sudah tidak perlu tapi-tapian. Sekarang kamu pergi samperin dia, dan bilang mengenai perasaan kamu.”
“Tapi gimana kalau ternyata dia sudah punya pacar? Cewek tadi?” pikirnya.
“Tidak! Aku yakin belum. Meskipun mereka dekat, belum tentu pacar. Perasaan cinta tidak semudah itu untuk berpaling Ran. Ketika kita mencintai seseorang, perasaan itu akan terus tumbuh. Perlu waktu lama, untuk dapat memalingkan hati kepada yang lain. Jadi aku yakin dia masih nunggu kamu,” ujar Lina memegang erat bahu Rania.
“Benarkah dia masih menungguku?”
“Aku yakin dia masih menunggumu. Cintanya tidak akan memudar begitu saja. Sekarang pergilah! Dan ungkapin perasaanmu padanya.”
Mendengar ucapan Lina, gadis berambut panjang, yang membiarkankan rambut hitamnya terurai ini, segera berlari menuju deretan ruang kuliah fakultas Ekonomi. Hari ini dia akan mengatakan semuanya pada Oki. Bahwa dia juga mencintainya. Sehingga mereka bisa bersama-sama lagi.

Begitu sampai di dekat ruang kuliah Oki, langkahnya terhenti. Ia melihat Oki sedang berbincang dengan seorang gadis yang tadi dilihatnya. Rania bergegas mencari tempat persembunyian, di balik semak-semak. Saat menyadari tatapan gadis itu nampak serius memandang mata Oki.
“Ki, ada hal yang ingin aku katakan sama kamu sejak dulu. Tapi melihatmu selalu bersama Rania, aku jadi mengurungkannya. Dan sekarang, begitu tau kalau kamu tidak berhubungan sama dia lagi, aku merasa senang,” ucap gadis yang duduk di sebelah Oki.
“Apa katanya? Dia senang, kalau aku tidak lagi dekat dengan Oki?!” geram Rania di tempat persembunyiannya.
“Kenapa kamu bilang begitu?” sahut Oki heran.
“Iya aku senang. Dengan begitu, aku bisa dekat sama kamu.”
“Kamu ngomong apa sih Ver? Aku nggak ngerti deh. Kan memang kita dekat, karena berteman.”
“Bukan itu maksudku.”
“Lalu?”
“Jadi hal yang ingin aku katakan sama kamu itu, meskipun kita satu kelas, tapi aku ingin jadi lebih dari sekedar temanmu.”
“Maksudmu?!” sentak Oki mengernyitkan alisnya penasaran.
“Iya Ki, sebetulnya dari dulu aku suka sama kamu. Tapi aku cuma nggak ada kesempatan bilang ke kamu. Karena kamu selalu sama Rania,” ungkap cewek itu menatap Oki.
“What? Jadi dia suka sama Oki?” gumam Rania kaget.
“Gimana Ki, kamu mau kan terima cinta aku. Dan kita jadian?” tanya cewek itu lagi.
“Duh… gimana kalau ternyata Oki bakalan bilang iya? Gara-gara aku marah padanya. Terus mereka jadian. Aku nggak mau kehilangan dia!!! Lalu apa yang harus aku lakukan?” Rania makin panik. Ia sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban Oki.
“Aku ngerti perasaan kamu Ver. Memang benar Rania kini menghindariku, bahkan kita tidak lagi saling ngobrol seperti dulu. Aku pikir mungkin dia marah padaku. Jadi…” “Haaaaccciu…!” belum sempat Oki melanjutkan ucapannya. Mendadak Rania bersin, lantaran hidungnya tersumpal semak-semak yang membuat hidungnya merasa gatal hingga bersin. Alhasil suara bersin tersebut membuat Oki menghentikan ucapannya. “Ver, apa kamu bersin?” tanya Oki kemudian.
“Tidak!” sahut Vera menggeleng.
“Lalu suara siapa tadi, aku dengar ada yang bersin?” tukas Oki penasaran. “Pasti ada orang lain di sekitar sini.” Oki segera mencari tau, namun ia tidak melihat siapapun disana kecuali dirinya bersama Vera. “Haiiiiccuuu…” suara bersin terdengar lagi. Suara berasal dari balik semak-semak. Oki lekas mengecek, untuk memastikannya. “Rania?!” seru Oki kaget melihat gadis itu jongkong dan bersembunyi di balik semak-semak.
“Oki, hehehe…” Rania nyengir, kepergok oleh Oki.
“Kamu ngapain disini?”
“Tadi sebetulnya… aku… mau…” ucap Rania terbata-bata.
“Kamu ngapain kesini? Ganggu aja sih?!” celetuk Vera nampak marah, yang muncul di belakang Oki. “Bukannya kamu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi sama Oki? Terus ngapain kesini? Pasti kamu nguping ya?!” kesalnya melotot.
“Bukan… aku nggak bermaksud untuk mendengar obrolan kalian. Tapi…” elak Rania, mengangkat kedua tangannya kedepan dada.
“Tapi apa? Kamu mau bilang, nggak senang melihatku dekat dengan Oki?! Makanya kamu kesini, buat gagalin rencanaku kan?! Ngaku!” bentak Vera.
Rania merasa sangat kesal mendengar tuduhan yang dilayangkan padanya. Sementara dirinya tidak pernah berpikir ataupun berniat demikian. “Kalau aku berniat gagalin, sudah dari tadi. Aku cegah kamu ngomong panjang lebar. Aku tidak seperti kamu, yang senang melihat orang lain bertengkar dan bermusuhan. Hanya demi kepentinganmu sendiri. Kamu senang kan? kalau aku jauh dari Oki?! Oke, aku pergi!” seru Rania kesal dan beranjak pergi.
“Rania… tunggu!” panggil Oki, namun tak dihiraukannya. Rania terus berjalan meninggalkan mereka. “Ver, kamu perlu tau. Meskipun dia marah padaku, tapi aku tidak bisa marah padanya. Kamu jangan salah paham, kalau beberapa minggu ini aku tak lagi berhubungan dengannya. Bukan berarti hatiku berpaling darinya. Jadi selama ini aku memang membiarkan dia menjauhiku. Sampai aku tau, gimana perasaannya. Dan sekarang aku sudah tau. Jadi maaf aku tidak bisa menerima cintamu,” tukas Oki lalu berlari menyusul Rania.

Gadis berambut panjang ini tertunduk lesu, di taman. Ia tidak menyangka kalau kejadiannya akan menjadi tambah rumit. Tadinya dia cuma ingin mengungkapkan perasaannya pada lelaki yang telah mengisi kekosongan di hatinya itu. Namun yang terjadi justru diluar dugaan, dan memaksanya untuk kembali menjauh dari pria yang membuatnya takut kehilangan.
“Tidak berubah ya, pasti deh. Kalau lagi ada masalah kesini. Kamu itu sudah bisa ditebak,” celetuk seseorang. Rania mengenal suara itu, dan langsung menoleh ke belakang. Ia terperanjak, ternyata dugaannya tidak keliru. Suara tersebut milik Oki.
“Ngapain kesini? Nanti dia marah lagi?! Sana pergi!” usir Rania memalingkan mukanya.
“Kamu yakin pengen aku pergi?” goda Oki mendekatkan wajahnya.
“Apaan sih?!” balas Rania menyingkap muka cowok dihadapannya.
“O ya, tadi kamu sedang ngapain? Kok bersembunyi di depan ruanganku?”
“Ehmmm… itu… karena…”
“Karena apa? Kamu mau mengikutiku ya?”
“PD banget!”
“Lalu apa donk? Kenapa kamu bisa sampai di depan ruang kuliahku? Pasti ada sesuatu kan? Hemm.. aku jadi curiga,” pikir Oki, sembari mengerutkan dahinya.
“Itu karena, tadinya aku mau nemuin kamu. Tapi begitu lihat kamu lagi ngobrol, ya aku sembunyi aja.”
“Pasti kamu penasaran kan? Sampai harus sembunyi?”
“Nggak!” elak Rania. “Kamu sendiri gimana sama tuh cewek? Pasti senang kan, udah jadian!” imbuh Rania sedikit sinis. Namun hatinya merasa khawatir.
“Maksud kamu Vera? Dia itu cantik.”
“Sudah kuduga! Pasti cuma mau pamer punya pacar cantik,” gerutu Rania kesal.
“Tadi kamu bilang, mau nemuin aku. Ada apa? Pasti kamu kangen ya? Lama nggak ketemu,” goda Oki lagi.
“Apaan sih?! Pergi sana, ganggu aja!”
“Kamu yakin, mau aku pergi? Seperti yang kamu lakukan sebelumnya? Kalau memang itu maumu, setelah ini aku akan benar-benar pergi dari hidupmu,” tukas Oki. Rania cuma diam saja. “Baiklah kalau itu maumu.” Oki beranjak dari duduknya. “Tapi sebelum aku pergi, aku cuma mau bilang. Vera memang cantik, tapi hatiku bukan untuk dia,” imbuhnya kemudian melangkah pergi.
“Hah? Apa dia bilang? Apa itu berarti dia masih mencintaiku?” pikir Rania menggumam. “Tunggu! Aku mohon jangan pergi!” teriaknya kemudian, menghentikan langkah pria itu.
Rania menghela napas, mengumpulkan semua keberaniannya. “Maafkan aku, kalau kemarin sikapku sedikit naif. Aku hanya takut, sikapmu akan berubah dan jadi jauh dariku. Jika suatu saat hubungan kita tidak berhasil. Tapi beberapa hari tanpamu di sisiku, rasanya ada yang kurang. Aku baru sadar, kalau aku juga mencintaimu. Aku ingin agar kamu tetap berada disampingku. Jadi jangan tinggalin aku lagi! Setengah bagian hidupku rasanya ada yang hilang, tanpa kamu di sisiku,” ungkapnya.
“Pluk…!” sebuah pelukan dari Oki melayang ke tubuh Rania. Ia merasa sangat bahagia, karena setengah bagian dalam hidupnya telah kembali. Dan itu adalah Oki.

Cerpen Karangan: Putri Andriyas
Blog / Facebook: Www.putriandriyas.wordpress.com / Putri Andriyas
Pernah bekerja sebagai jurnalis di salah satu media online Jakarta. Saat ini masih aktif untuk menulis dalam blog, membuat cerpen, dan berbagi inspirasi lewat tulisan.

Cerita Setengah Bagian Hidup Rania merupakan cerita pendek karangan Putri Andriyas, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

Sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/setengah-bagian-hidup-rania.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar